Cerita cinta (part 4)

Apa yang akan kau lakukan bila merasa seorang lawan jenis begitu memperhatikanmu? Segala tindak-tandukmu, ocehanmu, tulisanmu, orasi-orasimu. Saat kau merasakan dia memandangimu beberapa detik lebih lama dari biasanya, atau terkadang sepersekian detik saja bila kau dan dia bertemu mata.  Apa kau akan bertanya mengapa demikian padanya? Berpura-pura tidak tahu dan menikmatinya? Diam saja karena takut hanya kau yang merasakannya? atau membiarkannya karena itu tidak penting bagimu? Bagiku, waktuku terlalu sedikit untuk memikirkan semua itu untuk saat ini, masih banyak hal lain yang harus kulakukan. Demi Bangsa, Agama, dan Aku.
*****
Sambil berjongkok Arif melihat-lihat buku di bagian sejarah. Matanya fokus membaca judul-judul buku yang berderet itu.
“Gue masih bingung lu ngajak gue ke Gramedia Matraman? Sejak kapan lu suka baca buku? Lagian kenapa harus ke Matraman? Kan jauh.” Tanya Arif heran kepada Andi yang berdiri disebelahnya, matanya gencar melihat sekitar, entah apa yang sedang dicarinya. 
“Emang lu gatau mitosnya?” Andi menatap ke arah Arif, sorot matanya bernuansa antara serius dan misterius.
Arif masih asik melihat satu persatu buku di rak itu, membaliknya, melihat sampul depan dan belakangnya, bahkan jika beruntung ada buku yang plastiknya terbuka sehingga ia bisa membaca sedikit isinya. “Emang ada mitos apaan?”
Pars lau! Lu gatau ini hari apa?”
“Hari minggu?”
“Iya, tu lu tau.”
Arif berdiri, ia mulai penasaran kemana arah jalan pemibcaraan ini. Ia tidak bisa fokus lagi melihat buku itu satu persatu. “Lah, emangnya kenapa kalau hari minggu?”
“Sini gue bisikkin,” Andi mendekatkan kepalanya. “ Ini kan hari Minggu nih, terus ini Gramedia Matraman, Gramedia Pusat,” Arif mengangguk, namun masih memasang wajah heran. ”Nah, dimana ada buku, disitu cewe unyu berkumpul, makin banyak bukunya, makin banyak cewenya, kalau hari libur, lebih banyak lagi.” Ujar Andi bersemangat.
“Nah kan! Gue tau lu ga pernah ada niat baca buku!” Namun Arif termakan mitos itu sedikit, ia melihat sekitar mencari kebenaran mitos yang dikatakan Andi. “Mana ah, ga ada cewe unyu? Bapa-bapa semua isinya.”
“Ya lu sih diemnya disini, cewe unyu tuh banyaknya di bagian novel roman, sama di tempat alat tulis. Lagian gue suka ko baca buku, Cuma buku yang gue baca ga ada di Gramedia, disini dikit sih buku perfilmannya.”
“Yaelah, iya deh iya cewe unyunya banyak. Tapikan ibu-ibu, bapa-bapa, mas-mas, bocah-bocah juga banyak.”
“Makanya lu jangan demo mulu kerjaanya, belajar cinematography dikit. Gue nih bisa ngatur focus mata gue supaya cuma focus ke cewe-cewe unyu doang, yang lainya, B-L-U-R.“ Andi sedikit membusungkan dadanya, padahal siapapun tahu apa yang dikatakannya tidak mungkin terjadi.
“T-e-r-s-e-r-a-h.” Arif kembali jongkok. Meneruskan kegiatannya yang sempat tertunda.
“Eh, Rif, lu nyadar ga? Daritadi ada cewe unyu tuh ngeliatin lo terus. Gue heran kenapa lu yang diliatin, padahalkan gantengan gue.”
“Yang mana” Arif menjawab datar. Ia tidak memalingkan wajah dari buku yang dibacanya.
“Tuh, di barat daya.”
“Wanjir lu nyari masalah, mana gue tau dimana tuh barat daya.”
“Makanya gue bilang jangan demo terus, gue selalu tau tuh dimana matahari terbit dan matahari terbenam. Arah jam 3 deh, arah jam 3.”
“Ya lu reinkarnasi burung merpati kali.” Arif melihat ke arah kanannya. Ada seorang perempuan sedang melihat-lihat isi buku, memang sedikit rupawan. “Kayanya gue pernah liat tuh, cuma lupa dimana.”
“Ya udah coba lu sapa, siapa tau anak UI juga, kan lumayan tuh dapet kenalan. Diliat dari mukanya sih kayanya ade kelas.” Andi menatap genit.
“Itu sih lu aja mukanya tua. Ngapain ah, gue kesini mau cari buku, bukan cari cewe unyu kaya lu.”
“Dih, jual mahal.”

“Lah emangnya lu, di obral.” 

0 comments:

Post a Comment