Apa
yang akan kau lakukan bila merasa seorang lawan jenis begitu memperhatikanmu?
Segala tindak-tandukmu, ocehanmu, tulisanmu, orasi-orasimu. Saat kau merasakan
dia memandangimu beberapa detik lebih lama dari biasanya, atau terkadang
sepersekian detik saja bila kau dan dia bertemu mata. Apa kau akan bertanya mengapa demikian
padanya? Berpura-pura tidak tahu dan menikmatinya? Diam saja karena takut hanya
kau yang merasakannya? atau membiarkannya karena itu tidak penting bagimu?
Bagiku, waktuku terlalu sedikit untuk memikirkan semua itu untuk saat ini,
masih banyak hal lain yang harus kulakukan. Demi Bangsa, Agama, dan Aku.
*****
Sambil
berjongkok Arif melihat-lihat buku di bagian sejarah. Matanya fokus membaca
judul-judul buku yang berderet itu.
“Gue
masih bingung lu ngajak gue ke Gramedia Matraman? Sejak kapan lu suka baca
buku? Lagian kenapa harus ke Matraman? Kan jauh.” Tanya Arif heran kepada Andi
yang berdiri disebelahnya, matanya gencar melihat sekitar, entah apa yang sedang
dicarinya.
“Emang
lu gatau mitosnya?” Andi menatap ke arah Arif, sorot matanya bernuansa antara
serius dan misterius.
Arif
masih asik melihat satu persatu buku di rak itu, membaliknya, melihat sampul
depan dan belakangnya, bahkan jika beruntung ada buku yang plastiknya terbuka sehingga
ia bisa membaca sedikit isinya. “Emang ada mitos apaan?”
“Pars lau!
Lu gatau ini hari apa?”
“Hari
minggu?”
“Iya,
tu lu tau.”
Arif
berdiri, ia mulai penasaran kemana arah jalan pemibcaraan ini. Ia tidak bisa
fokus lagi melihat buku itu satu persatu. “Lah, emangnya kenapa kalau hari
minggu?”
“Sini
gue bisikkin,” Andi mendekatkan kepalanya. “ Ini kan hari Minggu nih, terus ini
Gramedia Matraman, Gramedia Pusat,” Arif mengangguk, namun masih memasang wajah
heran. ”Nah, dimana ada buku, disitu cewe unyu berkumpul, makin banyak bukunya,
makin banyak cewenya, kalau hari libur, lebih banyak lagi.” Ujar Andi
bersemangat.
“Nah
kan! Gue tau lu ga pernah ada niat baca buku!” Namun Arif termakan mitos itu
sedikit, ia melihat sekitar mencari kebenaran mitos yang dikatakan Andi. “Mana
ah, ga ada cewe unyu? Bapa-bapa semua isinya.”
“Ya
lu sih diemnya disini, cewe unyu tuh banyaknya di bagian novel roman, sama di
tempat alat tulis. Lagian gue suka ko baca buku, Cuma buku yang gue baca ga ada
di Gramedia, disini dikit sih buku perfilmannya.”
“Yaelah,
iya deh iya cewe unyunya banyak. Tapikan ibu-ibu, bapa-bapa, mas-mas,
bocah-bocah juga banyak.”
“Makanya
lu jangan demo mulu kerjaanya, belajar cinematography
dikit. Gue nih bisa ngatur focus mata
gue supaya cuma focus ke cewe-cewe
unyu doang, yang lainya, B-L-U-R.“
Andi sedikit membusungkan dadanya, padahal siapapun tahu apa yang dikatakannya
tidak mungkin terjadi.
“T-e-r-s-e-r-a-h.”
Arif kembali jongkok. Meneruskan kegiatannya yang sempat tertunda.
“Eh,
Rif, lu nyadar ga? Daritadi ada cewe unyu tuh ngeliatin lo terus. Gue heran
kenapa lu yang diliatin, padahalkan gantengan gue.”
“Yang
mana” Arif menjawab datar. Ia tidak memalingkan wajah dari buku yang dibacanya.
“Tuh,
di barat daya.”
“Wanjir
lu nyari masalah, mana gue tau dimana tuh barat daya.”
“Makanya
gue bilang jangan demo terus, gue selalu tau tuh dimana matahari terbit dan
matahari terbenam. Arah jam 3 deh, arah jam 3.”
“Ya
lu reinkarnasi burung merpati kali.” Arif melihat ke arah kanannya. Ada seorang
perempuan sedang melihat-lihat isi buku, memang sedikit rupawan. “Kayanya gue
pernah liat tuh, cuma lupa dimana.”
“Ya
udah coba lu sapa, siapa tau anak UI juga, kan lumayan tuh dapet kenalan.
Diliat dari mukanya sih kayanya ade kelas.” Andi menatap genit.
“Itu
sih lu aja mukanya tua. Ngapain ah, gue kesini mau cari buku, bukan cari cewe
unyu kaya lu.”
“Dih,
jual mahal.”
“Lah
emangnya lu, di obral.”
0 comments:
Post a Comment