Anak Tepi Jalan

entah mengapa setiap melihat anak itu aku jadi teringat akan anakku”

"Seharusnya saat ini anakku sedang merayakan kenaikan kelasnya menuju bangku kelas tiga sekolah dasar. Tapi sekarang ia tetap berada di kelas satu….ranjang rumah sakit.” pikir Pak Joko saat ia melihat sekumpulan anak SD  berlarian di dengan riangnya di trotoar. Getir ia melihat anak-anak itu, berharap anaknya sendiri bisa bermain bercengkrama seperti mereka.
“Sial, lagi-lagi wajahku mulai melesu. Tidak boleh! aku harus selalu terlihat ceria di depan anakku, bila ia melihhatku kehilangan semangat, bisa jadi ia pun kehilangan semangat untuk melanjutkan hidupnya” Pak Joko menepuk-nepuk kedua pipinya dan memperlihatkan giginya  ke kaca spion mencoba membentuk ekspresi ceria. Padahal sebenarnya saat itu ia sedang menuju kantornya, tetapi tetap saja ia merasa anaknya selalu berada di dekatnya. Seorang anak jalanan yang saat itu tepat sedang  berdiri di sebelah kaca mobilnya merasa heran melihat sang pengemudi tersenyum lebar ke arahnya. Pak Joko pun akhirnya sadar, dengan muka merah ia segera merogoh sakunya mengeluarkan selembar uang lima ribuan.

Membuka kaca jendela mobilnya, ” Bapa punya anak seusiamu nak, belajar yang rajin ya, banggakan orangtuamu.” ucap Pak Joko sembari memberikan uang lima ribuan tersebut. ” eh, oh, iya pa , terimakasih” anak jalanan itu bingung akan maksud perkataan Pak Joko ia pun segera meniti langkah menuju mobil lain berharap mendapat uang cukup untuk hari ini, untuk dirinya, keluarganya, dan tentu untuk preman-preman di daerahnya.

Pak Joko terpaku melihat anak berseragam putih merah tersebut di kaca spionnya, “Anak sekecil itu sudah bergelut dengan hidup, aku penasaran dengan mimpinya, mimpi seperti apa yang dapat di harapkan oleh seorang anak jalanan ?”

Memang rute Pak Joko hanya rumah sakit dan kantornya, ia jarang pulang ke rumahnya, hanya sesekali bila ia akan mengambil pakaian ganti atau hal lainnya. Semenjak anaknya mengidap gagal ginjal ia selalu berusaha berada di dekat anakknya, bahkan ia terkadang mengerjakan tugas kantor di rumah sakit agar dapat menemani anaknya. Memang terasa berat bagi Pak Joko yang menjadi single parents , istrinya meninggal saat ia melahirkan anaknya yang telah ditunggu selama 14tahun pernikahannya.

Semenjak itu , setiap kali Pak Joko melewati perempatan tersebut, ia selalu mencari dimana anak itu berada, bila sesekali anak itu mendekati mobilnya, ia pun pasti memberi berbagai macam barang, seperti mainan atau apapun yang akan ia berikan kepada anaknnya di rumah sakit nanti(tetapi sebagian besar buku, karena anaknya tak bisa melakukan apapun selain membaca), ia selalu membeli dua buah barang, satu untuk anaknya dan satunya lagi untuk anak jalanan tersebut(tanpa pernah ia tahu siapa nama anak tersebut).
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hingga akhirnya anak Pak Joko meninggal.
Pak Joko sempat bersikukuh takkan meninggalkan tempat pemakaman anaknya. Tetapi jatuhnya setitik tangis seorang Ibu karena melihatnya seperti itu tak bisa ia hiraukan begitu saja. Ia pun dengan muka tegar berjalan meninggalkan tempat anaknya terbaring untuk selamanya, “Anakku masih melihatku, aku pernah berjanji tak seorangpun dari kita boleh bersedih karena hidup. Karena apapun itu, pastilah itu yang terbaik untuk kita, bahkan untuk orang disekitar kita yang terkena imbasnya.”
Tapi aneh, esok harinya , saat ia berangkat ke kantornya dan melewati perempatan jalan ia tidak melihat sosok anak jalanan tersebut, padahal ini terakhir kalinya ia berada di kota ini, Pak Joko akan kembali ke kampung halamannya dan bekerja disana. Ia segera menepikan mobilnya dan menanyakan tentang anak tersebut kepada anak jalanan lainya yang berada disitu.

Akhirnya ia mengetahui nama anak jalanan tersebut, Yudha Putra, menurut anak jalanan lainnya ia sedang terkena demam dan istirahat di rumahnya. Pak Joko pun segera menuju rumah anak jalanan tersebut.
Sesampainya disana Pak Joko tidak menemui anak tersebut, hanya memberikan seamplop uang dan sebuah surat kepada Ibunya yang ternyata telah ditinggal suaminya entah kemana.
Setelah itu, Pak Joko pun segera pergi kekantornya untuk mengajukan surat pengunduran diri, dan kembali ke kampung halamannya.
.
.
.
.
.
.
.
Belasan tahun telah berselang, Pak Joko sudah menjadi petani hebat di kampungnya, tetapi ia hanya menghabiskan sebagian uangnya untuk dirinya dan ibunya, sebagian lagi untuk panti asuhan di kampungnya tersebut. Memang Pak Joko memutuskan untuk tidak menikah kembali, rasa sayang kepada istrinya sudah mengakar kuat di hatinya.
Hingga suatu saat sebuah buku dikirimkan ke rumahnya.
Pak Joko kebingungan karena ia merasa tidak pernah memesan buku tersebut, apalagi ia bukan tipe orang yang suka membaca sebuah novel.
Ia segera melihat ke bagian cover belakangnya, ia terkejut melihat tulisan yang ia tulis belasan tahun silam.

“Surat dari ayah di balik kaca”
Untuk engkau yang sudah kuanggap seperti anakku sendiri
Tak ada satu burung pun yang tidak merindukan angkasa
Tak ada satu anak pun yang tidak memimpikan cita-cita
Tak ada cita-cita yang mereka bilang setingggi angkasa
Tak ada cita-cita yang mereka bilang sedekat telapak kaki
apa cita-citamu nak ?
Apapun itu terus lah engkau berjuang nak…
seperti anakku yang terus berjuang melawan penyakitnya…hingga ia mendapatkan cita-cita untuk berada di sisi-Nya
memang tidak semua yang berhasil meraih cita-cita adalah orang yang berjuang
Tapi aku tidak pernah melihat seorangpun yang berjuang gagal meraih cita-citanya.

“Balasan untuk kaca”
Aku tidak menyangka masa depan menyapaku dari balik kaca kotor itu
segudang impian yang sempat pupus berganti dengan beribu impian baru
dan itu lebih nyata
Aku tidak menyangka masa depan bisa sebaik ini
yang dulu kurasa ia enggan menyapaku yang kumuh ini
terima kasih untuk ayah di balik kaca
semoga apa yang engaku berikan padaku menjadi kebaikan  bagi anakmu disana
cita-cita ku dulu telah tercapai, dan mulai berkembang menjadi jutaan cita-cita baru
dari anak di sisi lain kaca
kuharap engkaupun tidak melupakan cita-citamu.

pengarang : Yudha putra
2009

0 comments:

Post a Comment