Kutitipkan “Semoga…” ini padamu, tolong jangan kau tambahkan dulu.
Juga jangan kau katakan pada siapapun bahwa aku yang menitipkannya padamu. Katakan saja ia terselip diantara pesan-pesan dari kekasihmu yang disampaikan oleh angin (Jika kau tak punya kekasih yang biasa mengirimkanmu pesan, katakan saja angin itu salah alamat. Bilang saja, “Biasa, efek global warming.”).
Awalnya, aku berniat untuk memenggalnya per satu huruf. Tapi aku teringat di luar sana cukup banyak tempat dimana huruf “S” dilarang. Akan repot nantinya bila salah satu dari mereka ditahan oleh aparat keamanan, Aku tak punya cukup uang untuk membayar uang tebusan. Lagipula, aku takut bila nanti salah satu dari mereka hilang, bisa-bisa orang akan salah merangkainya, menggabungkannya dengan huruf yang benar-benar terselip diantara pesan-pesan yang disampaikan oleh angin. Bisa bahaya itu.
Oleh karena itu aku memutuskan untuk menitipkan keseluruhannya padamu, lengkap dengan jeda.
“Semoga…” ini sebenarnya bukan milikku, aku mencurinya dari seorang Ibu.
Kau pernah mendengar cerita tentang seorang ibu yang memasak batu untuk menenangkan anaknya yang kelaparan?
Saat aku berjalan pulang di sepertiga malam seperti biasanya, aku melihat Ibu yang satu ini malah asik berdoa, meninggalkan anaknya yang menangis kelaparan. Dan tidak seperti dalam cerita di atas, orang yang melihat hal tersebut langsung prihatin lalu memberi anak itu sesuatu untuk dimakan. Aku malah mencuri awal kalimat dari doa sang Ibu.
Ada yang lebih penting dari sekadar mendoakan seorang anak yang diterjang kelaparan. Sungguh, ada yang jauh lebih penting daripada itu.
Jangan tanyakan padaku. Kalau aku tahu apa itu yang lebih penting, aku takkan menitipkannya padamu. Untuk apa? Langsung saja ku isi lalu ku kirimkan pada Sang Penguasa. Tak perlu berlama-lama.
Awalnya aku berpikir untuk memperbanyak dan membagi-bagikannya, siapa tahu ada orang di luar sana yang tahu. Tapi ternyata kios fotokopi tidak mau melayani. Aku juga tidak mau mengalihkan “Semoga…” ke dalam bentuk digital. Riskan. Salah-salah bisa masuk ke media sosial. Kalau sudah begitu, hancur sudah. Seperti tempat-tempat wisata yang langsung rusak oleh anak-anak Hitz begitu dialihkan ke dalam bentuk digital.
Kalau kamu khawatir dengan anak dari ibu yang kucuri, datang saja esok pagi. Bawakan segelas susu dan sepotong roti. Itu sudah cukup. Jangan terlalu terpengaruh oleh rasa iba, lalu tergoda untuk menambahkan masalah perut ke dalam “Semoga…” yang kutitipkan padamu. Oh, iya. Kau tak terlalu bodoh untuk menambahkannya dengan masalah hubunganmu dengan…….Ah sudahlah, aku tahu kau tidak sebodoh itu.
Sudah dulu ya, aku masih ada tugas yang harus kuselesaikan. Ingat, jangan kau tambahkan apa-apa dulu.
Atau mungkin kau bisa seperti aku waktu itu, mengirimkan pesan dengan berhenti di “Kepada…”
Hasilnya….aku juga tidak tahu
Namun apa salahnya mencoba mengirimkan “Semoga…” pada Sang Penguasa. Ia pasti tahu apa yang terbaik.
Atau jika kau ingin menambahkannya dengan masalah pribadimu, tak apa-apa.
Aku masih bisa mencurinya besok malam. Aku yakin, esok malam pun pasti ada seorang anak yang diterjang kelaparan.
Jakarta, 5 Januari 2016
0 comments:
Post a Comment