Ini kedua kalinya aku melintasi kulkas yang berisi berbagai macam minuman kemasan di sebuah minimarket karena tidak menemukan minuman kesukaanku. Tapi sekali lagi, ini bukan cerita tentang aku (Aku masih dalam mode mematikan fungsi “hati"ku, juga entah kenapa aku mengalami kesulitan berekspresi). Bukan juga cerita tentang kasir, pengunjung, maupun tukang parkir yang kini sedang sibuk berlari kesana-kemari, mengejar pengendara yang mencoba pergi tanpa memberinya selembar uang dua ribuan.
Ini tentang seorang anak SMA (gadis, aku malas bercerita tentang anak laki-laki) yang sedang duduk di angkutan umum yang berhenti di depan minimarket karena salah satu dari dua orang anak SMP berpakaian putih-putih mengetuk atap mobil angkutan umum itu (sebenarnya aku tidak tahu apakah anak itu mengetuk atap atau berkata "setop” atau “kiri”. Bahkan mungkin mereka memiliki suatu ikatan batin sehingga melakukan salah satu hal yang aku sebutkan tadi secara bersamaan, atau bahkan ikatan batin itu terjalin dengan sang sopir angkutan umum sehingga berhenti begitu saja…entahlah…) lalu turun dan menuju ke arahku.
Gadis itu tidak cantik, biasa saja. Gadis itu mungkin menarik, dari sekian banyak orang yang duduk di dalam angkot dia dapat terpilih menjadi pemeran utama cerita ini. Tapi itu hanya bagian luarnya bukan? orang bilang jangan pernah menilai buku dari sampulnya, oleh karena itu aku tidak akan terlalu menjelaskan bagaimana tampak luar dari gadis itu.
Lalu bagaimana dengan tampak dalamnya? Kau pasti berpikir aku pasti tidak tahu karena aku hanya melihatnya dari celah jendela angkot, melalui kaca dinding minimarket dan kacamataku yang selalu berdebu (kacamataku memang selalu kubiarkan berdebu, rasanya silau bila ia begitu bersih.) berapa lapis kaca yang harus aku lewati untuk tahu isi hatinya yang mungkin serapuh kaca pula? atau tahu bagaimana perasaannya hari ini lewat menatap matanya yang berkaca-kaca?
Namun mungkin aku memiliki ikatan batin dengannya, sama seperti anak SMP tadi memiliki ikatan batin dengan sopir angkot. Aku tahu bagaimana “isi” Gadis SMA itu. (Ya ya ya… Aku [so] tahu bagaimana “isi” Gadis SMA itu.)
Jangan menilai sampul dari bukunya….
Namun bagaimana? hatinya sendiri yang mengatakan dirinya tidak cantik
Jangan menilai sampul dari bukunya…
Namun bagaimana? hatinya sendiri yang mengatakan dirinya tidak lebih baiki dari gadis yang hari ini “menerima” ungkapan cinta dari lelaki yang telah ia sukai sejak kelas tiga SMP…
Jangan menilai sampul dari bukunya…
Namun bagaimana? hatinya sendiri yang meragu saat teman baiknya mengatakan kelak ia akan mendapat yang lebih baik
Jangan menilai sampul dari bukunya…
Walau hatinya berkata begitu, ia berusaha merapikan dirinya agar tampak menarik
Walau hatinya berkata begitu, ia berusaha tampak “lebih baik” di banding gadis lainnya itu
Walau hatinya berkata begitu, ia mem-post kan berpuluh-puluh kata mutiara tentang “move on” dan “merelakan”
Maka jangalah kalian menilai sampul dari bukunya
Karena terkadang, tampak dari sampul itu sendiri yang menjadi hakikat terciptanya sebuah buku.
.
Ini tentang seorang anak SMA (gadis, aku malas bercerita tentang anak laki-laki) yang sedang duduk di angkutan umum yang berhenti di depan minimarket karena salah satu dari dua orang anak SMP berpakaian putih-putih mengetuk atap mobil angkutan umum itu (sebenarnya aku tidak tahu apakah anak itu mengetuk atap atau berkata "setop” atau “kiri”. Bahkan mungkin mereka memiliki suatu ikatan batin sehingga melakukan salah satu hal yang aku sebutkan tadi secara bersamaan, atau bahkan ikatan batin itu terjalin dengan sang sopir angkutan umum sehingga berhenti begitu saja…entahlah…) lalu turun dan menuju ke arahku.
Gadis itu tidak cantik, biasa saja. Gadis itu mungkin menarik, dari sekian banyak orang yang duduk di dalam angkot dia dapat terpilih menjadi pemeran utama cerita ini. Tapi itu hanya bagian luarnya bukan? orang bilang jangan pernah menilai buku dari sampulnya, oleh karena itu aku tidak akan terlalu menjelaskan bagaimana tampak luar dari gadis itu.
Lalu bagaimana dengan tampak dalamnya? Kau pasti berpikir aku pasti tidak tahu karena aku hanya melihatnya dari celah jendela angkot, melalui kaca dinding minimarket dan kacamataku yang selalu berdebu (kacamataku memang selalu kubiarkan berdebu, rasanya silau bila ia begitu bersih.) berapa lapis kaca yang harus aku lewati untuk tahu isi hatinya yang mungkin serapuh kaca pula? atau tahu bagaimana perasaannya hari ini lewat menatap matanya yang berkaca-kaca?
Namun mungkin aku memiliki ikatan batin dengannya, sama seperti anak SMP tadi memiliki ikatan batin dengan sopir angkot. Aku tahu bagaimana “isi” Gadis SMA itu. (Ya ya ya… Aku [so] tahu bagaimana “isi” Gadis SMA itu.)
Jangan menilai sampul dari bukunya….
Namun bagaimana? hatinya sendiri yang mengatakan dirinya tidak cantik
Jangan menilai sampul dari bukunya…
Namun bagaimana? hatinya sendiri yang mengatakan dirinya tidak lebih baiki dari gadis yang hari ini “menerima” ungkapan cinta dari lelaki yang telah ia sukai sejak kelas tiga SMP…
Jangan menilai sampul dari bukunya…
Namun bagaimana? hatinya sendiri yang meragu saat teman baiknya mengatakan kelak ia akan mendapat yang lebih baik
Jangan menilai sampul dari bukunya…
Walau hatinya berkata begitu, ia berusaha merapikan dirinya agar tampak menarik
Walau hatinya berkata begitu, ia berusaha tampak “lebih baik” di banding gadis lainnya itu
Walau hatinya berkata begitu, ia mem-post kan berpuluh-puluh kata mutiara tentang “move on” dan “merelakan”
Maka jangalah kalian menilai sampul dari bukunya
Karena terkadang, tampak dari sampul itu sendiri yang menjadi hakikat terciptanya sebuah buku.
.
08.02.15
0 comments:
Post a Comment