Cerita Rui : Hujan

                                                                    
Nak….
Saat itu pepohonan sudah tergantikan oleh tiang-tiang besi, awan-awan sudah tergantikan oleh gumpalan asap, cicit-cicit burung dan deritan jangkrik pun telah tergantikan oleh deru laju kendaraan bermotor.

Di tengah keadaan yang seperti itu hiduplah satu keluarga burung yang mungkin sudah dinafikan keberadaannya oleh para manusia. Bersarang di dahan pohon tepi jalan yang tak pernah disyukuri keberadaannya. Padahal di kala hujan, di kala terik, belasan orang menumpang berteduh di bawahnya. Kamupun sering berteduh di sana menunggu ayah menjemputmu.

Tapi hari itu, langit mendung semenjak pagi, karena memang sudah memasuki musim penghujan. Satu minggu kebelakang, kota itu terus menerus di jatuhi hujan saat pagi, siang, sore , atau malam hari, bahkan sempat seharian penuh. Sebuah hal menggembirakan setelah kemarau panjang yang melanda kemarin. Tapi tidak bagi Rui (baca : Ru-i), anak burung yang memang dilahirkan di awal musim panas ini selalu cemberut di kala turun hujan.

“Aku tidak suka hujan ayah…sayap-sayapku basah dan menjadi sedikit berat…lagipula, teman-temanku pun jarang meninggalkan sarangnya saat hujan turun, aku jadi tidak ada teman bermain…hanya bisa memainkan ranting dan daun-daun ini.” keluh anak burung itu entah yang keberapa kali. Karena sepanjang hari Rui hanya mengeluh dan terus mengeluh, menatap sinis pada langit yang mendung.

Nah, nak…kalau engkau menjadi ayah burung tersebut, apa yang akan engkau katakan pada Rui ?

Kalau ayah sih persis seperti yang di lakukan ayah burung di cerita ini..

Ya, sang ayah hanya tersenyum, seakan membiarkan anaknya mengerti dengan pemahamannya sendiri
.
Dan karena sang ayah bersikap seperti itu, si anak pun kesal.

“Ah , ayah mah diam saja…aku mau main keluar ah, mumpung belum hujan.” Kata Rui sembari meloncat-loncat ke luar sarang.

“Jangan Ru..liat tuh, langit mendung, pasti mau hujan.” Sang ayah berkata tanpa menoleh kepada Rui sedikitpun, sibuk menata sarang yang sedikit rusak oleh hujan.


“Ah, ga akan ko yah, dari tadi pagi juga mendung terus ga hujan-hujan…yu ah yah ,Rui pergi dulu, daaaaah” Rui pun terbang meninggalkan sarang tanpa menunggu ayahnya memberikan izin. Sedang sang ayah hanya dapat menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya kemudian melanjutkan memperbaiki sarang. “Ck ck ck”

Dan ” wuuusssss”.
Rui pun terbang mengunjungi rumah teman-temannnya satu persatu, berencana mengajak mereka pergi bermain bersamanya. Tapi Rui semakin kesal saat mengetahui tak ada seorang temanpun yang dapat diajaknya main karena mereka sibuk membantu orang tuanya memperbaiki sarang yang rusak karena hujan , angin kencang dan banjir.

Rui pun akhirnya tidak melanjutkan terbangnya, memilih untuk melompat-lompat menikmati jalanan yang lengang pada sore hari.
Tiba-tiba ada suara yang memanggilnya

“Rui !” Dan Rui pun kebingungan karena ia tidak melihat sesosok hewanpun.

“Disini Ruuu, di bawah mu!” Teriak suara itu lebih keras, menegaskan dimana dirinya berada.
Rui segera melihat ke arah bawah, dan ternyata di situ ada Mute, seekor semut penyendiri yang gemar menjelajah.

“Ru, tumben ga main sama temen-temen yang lain? Malah loncat-loncat sendirian disini….” Tanya Mute yang heran melihat temannya sedang sendirian.

“Iya nih Mut, temen-temen semua pada sibuk ngebenerin sarang mereka yang rusak kena hujan , malah ada yang sibuk pindahan gara-gara rumahnya kebanjiran” Gerutu Rui sambil menendang-nendang kerikil yang ada dijalanan.

“Oh iya, tadi juga selama perjalanan aku bertemu banyak teman yang rumahnya rusak, jadi itu karena hujan ya? Aku tidak sempat bertanya pada mereka….” Jawab Mute membenarkan.

“Iyaaa, gara-gara hujan itu tuh , aku jadi ga bisa terbang bebas, ga bisa main sama temen-temen, aaah pokonya ngeselin deh tuh hujaaan , huft .” Ujar Rui ketus sekaligus senang karena ada teman yang mendukungnya.

“Ya, bagi kami, kaum semutpun hujan menjadi hal yang mengerikan….tidak sempat menemukan tempat berlindung…die…” Jawab Mute sambil melewatkann jarinya di leher. “Bahkan , tadi di daerah sana pun ada banjir…sepertinya para manusiapunn kewalahan menghadapi hujan kali ini.” Lanjut Mute menambahkan.

“Wah ? Sampai manusia-manusia itu pun kewalahan oleh hujan ? Dimana kamu liatnya Mut ?” Tanya Rui bertubi-tubi.

“Tuh di sana tuh…” Tunjuk Mute dengan antenanya. Menunjuk ke pemukiman padat penduduk yang memang terkenal sebagai lokasi banjir.

Dan lupa mengucapkan selamat tinggal, Rui mengudara dengan cepatnya. Mencari-cari hal yang dapat menguatkan pemikirannya.

Walau kau tahu nak ? Jauh di lubuk hatinya, ia sangat ingin mendapatkan bantahan, rasa menginginkan kebenaran.

Dan coba kau tebak apa yang ia temukan di lokasi banjir…


Ya , ia menemukan jutaan keluhan manusia , yang satu menyalahkan alam — seperti yang ia lakukan, tapi lebih banyak dari mereka yang mengkambing hitamkan manusia lain…seperti pemerintah.

Kamu sendiri nak…kamu pasti sering melihat berita-berita banjir yang melanda kota ini. Kalau kamu jadi salah satu dari mereka…siapa yang akan kau salahkan sayang?

hmm, mungkin kamu benar anakku yang pintar :)

Tapi , kita dengar kisah selanjutnya ya ?

Setelah melihat-lihat keadaan dan beragam ekspresi manusia yang terkena banjir. Semakin kuat terpatri dalam benaknya bahwa ia membenci hujan. Dan sialnya, hujan turun tepat disaat ia baru saja ingin mencelanya, seakan sang hujan lebih dulu meledeknya.

“Ah, dasar hujan jelek.” Gerutu Rui. Lalu ia segera mencari tempat berteduh. Untungnya tidak jauh dari dirinya ada sebuah beranda kamar di lantai 2 yang tertutup atap , sehingga ia bisa berteduh dibawahnya.

Sesampainya di sana Rui segera mengepak-kepakan sayapnya , berharap air hujan tidak lagi menempel di bulu-bulu tubuhnya. Dan tak sengaja, ia melihat seorang gadis kecil tengah menulis di balik jendela.

“Ah, pasti ia pun menulis kekesalannya terhadap hujan yang tellah membuat rumahnya banjir” pikir Rui dalam hatinya dan melompat-lompat mendekati jendela, mencoba membaca apa yang gadis itu tulis.

Kepada, bukuku….
Tempat aku menuliskan segala pikiranku…
Izinkan aku menumpahkan sekali lagi tinta-tinta ini pada dirimu.

Musim hujan telah datang…seperti biasa, banjir pasti menenggelamkan rumahku

“Tuhkan….” Rui mengiyakan dengan suara pelan.

Seperti biasa, sampah-sampah yang di tumpuk di kali selama musim kering…membuat kali meluap saat turun hujan berturut-tururt seperti ini.

Aku bingung harus menyalahkan siapa…
Mereka yang menumpuk sampah
Atau hujan yang datang terus menerus ?

“Tentu saja HUJAN” cicit Rui bersemangat.

Ya, bagi daerahku…musim hujan memang merupaka musim yang kurang menyenangkan…walau udara terasa menjadi lebih sejuk, tapi bencana dan penyakit yang di bawanya jauh lebih banyak…

“Ya , aku setuju gadis manis.”

Tapi kata ayahku…
Ini bukan salah hujan…
Kita kebanjiran merupakan salah kita yang membuang sampah ke kali…padahal tau perbuatan itu akan menimbulkan banjir. Rumah-rumah yang rusak, itu salah kita yang tidak mempersiapkan rumah dengan baik, padahal tau musim ini akan datang

Tapi kata ayahku…
banyak makhluk di luar daerahku yang menanti datangnya hujan, terutama pepohonan, makhluk air , dan mereka yang berrgantung pada kadar air….katanya…, aku belum tahu sampai sejauh apa mereka membutuhkan hujan.

Aku ingin sekali tahu bukuku…kalau saja aku dapat dewasa dan meluaskan pandanganku tentang dunia.

Seketika itu pula, Rui memutuskan untuk mencari mereka yang membutuhkann hujan…ya, Rui memang burung yang selalu ingin tahu…

Ia segera terbang menembus hujan menuju sarangnya..meminta izin kepada ayahnya untuk mulai berkelana.

Dan ia mendapat izin…


Rui pun segera menemui Mute dan berkelana bersama-sama melihat dunia.

Nah nak….
Tentu sekarang banyak pertanyaan yang ada di kepalamu…
Tugasmu mencari jawaban semua itu, bebas, boleh dari ibumu, kakekmu, nenemu , atau siapapun…setelah kau menemukan jawabannya kau boleh menceritakan jawabanmu pada ayah..

Aku tahu kau pasti bisa menemukan jawabannya…karena kau sepintar ibumu, bahkan mungkin lebih dari itu.

0 comments:

Post a Comment