23:00,
Malam tahun baru, di caffe, dingin.
Malam ini… . Malam Januari. Seperti
namamu… .
Malam ini… . Malam Januari.
Lembaran-lembaran baru dibuka, kisah-kisah baru digoreskan, target-target
ditancapkan bersama bintang.
Malam ini… . Malam Januari.
Pintu-pintu harapan dibuka lebar. Mimpi-mimpi mulai dianyam. Doa-doa
disematkan. Agar tahun ini lebih baik daripada tahun sebelumnya...
Gadis itu tidak sadar aku
membaca tulisannya. Bahkan Ia tidak sadar aku berdiri dibelakangnya.
Memperhatikannya. Gadis itu berhenti mengetik.
Memulai ritualnya. Menggoyang-goyangkan cangkirberisi coklat hangat - yang
sekarang sudah mulai mendingin - . Mencium aromanya.Menggoyangkannya lagi.
Meneguknya sedikit. Membiarkannya tetap menempel di bibirnya yang
tipis. Sembari menghirup aromanya untuk beberapa saat.
Menarik napas panjang. Meletakkan cangkir itu di samping
notebooknya.Menghembuskannya dengan berat .
Oh… .
dia mulai mengetik lagi.
Saat mereka membuka lembaran baru,
Aku masih terperangkap dikehidupanku yang lama.
Saat mereka menggoreskan kisah baru,
Aku menulis ulang kisah lama, berharap dapat merubah akhir ceritanya.
Saat mereka menancapkan
target-target baru, AKU M-E-N-C-A-B-U-T SEMUANYA !
Target-target yang hanya Utopis. Target-target yang hanya bualan.
Saat mereka menganyam mimpi-mimpi
baru, AKU M-E-N-G-U-B-U-R-NYA DALAM-DALAM ! Berharap aku tidak
pernah bermimpi seperti itu. Bermimpi semua mimpiku menjadi kenyataan.
Hanya satu yang sama. Aku berdoa.
Aku berdoa kepada “Entah Siapa Nama-Nya”. Tapi bukan karena ini malam Januari.
Aku memang selalu berdoa. Walau aku tidak tahu siapa nama-Nya.
Tulisan gadis itu memang tidak
begitu indah. Tapi sepertinya aku mulai senang membacanya. Ada makna
tersirat didalamnya.
Aku mencoba mengamati seisi caffe.
Caffe ini tidak banyak berubah. Dari sini aku masih dapat melihat langit dengan
jelas. Melihat butiran-butiran cahaya berhamburan. Tentu saja cahaya kembang
api. Sejak kapan bintang terlihat di malam tahun baru ? Ingat,
ini ibu
kota.
¤ Bosan… . Aku tidak suka
melihat kembang api. Bagiku langit lebih indah. Walaupun tanpa adanya bintang.
22:00,
31 July, 4 tahun yang lalu, di caffe yang sama, mendung.
Laki-laki usia tanggung itu
memandang langit kelabu di atasnya. Wajah menarik perempuan berbibir tipis
tidak mengalihkan perhatiannya. Lelaki itu memang suka melihat langit. Jengkel karena kekasihnya lebih
memperhatikan langit daripada dirinya. Gadis itu akhirnya memecah
kebisuan. “Memang apa bagusnya sih langit abu-abu begitu ? Bintang
saja tidak ada. Malah aku tidak bisa membedakan yang mana awan yang mana polusi.”
Pertanyaan itu akhirnya meledak. Pertanyaan yang dipendam semenjak pertama kali
mereka menjalin ikatan. Bahkan selama masa pendekatan.
“July…. Kau tahu? Karena tidak ada
bintanglah aku sering menatap langit. Membayangkan betapa indahnya bintang
yang aku lihat dibuku-buku. Membayangkan rasi-rasi itu bercengkrama
satu sama lain.” Lelaki itu tertawa kecil, mengendus rasa cemburu dari
kekasihnya.
Melihat wajah kekasihnya masih
dipenuhi tanda tanya, ia sadar kata-kata yang ia pakai tidak tepat. Lelaki
itupun kembali membuka bibirnya.
“ Aku terus melihatnya karena
berharap. Berharap mereka akan muncul dalam bentuk yang sangat
indah. Walau hanya sekejap. Oleh karena itu aku tidak ingin waktu yang
hanya sekejap itu aku lewatkan.”
Padahal itu hanya alasan. Sebenarnya
saat melihat langit Lelaki itu merasa tenang. Tidak peduli langit itu
berbintang atau tidak. Seperti kekasihnya yang menenangkan diri dengan
menenggak secangkir coklat.
“Tapi itu tidak mungkin kan? Kau
lihat polusi yang begitu tebal itu. Lampu-lampukota saat malam yang memudarkan
cahaya bintang. Bintang-bintang itu tidak akan terlihat. Kecuali satu
kota…Tidak, satu provinsi mati lampu, baru semua bintang itu akan terlihat.”
Gadis itu tersulut emosi. Dia bukan gadis yang mudah marah. Tetapi ia
hanya menerima jawaban yang sesuai dengan akal sehatnya.
“July….Apa salahnya kita berharap?
Berharap….Bermimpi tidak membuat kita berdosa bukan ?” Lelaki itu
berpindah tempat kesebelah July, mengelus-elus rambut panjang bergelombang
miliknya.
“Tapi..” Gadis itu masih berusaha
berargumen tetapi Garnet terlebih dahulu mencium bibirnya. Membuatnya membisu.
Tidak bisa berkata-kata. Dan tentu saja seluruh pengunjung caffe serentak
memandang mereka. Tapi mereka tidak peduli. Karena seperti ada pembatas
yang memisahkan dunia mereka dengan dunia di luar sana. walaupun sekarang
mereka berdua membisu dengan muka memerah.
.
.
.
.
¤“Kamu tahu apa yang spesial dari
tahun kabisat?” Lelaki itu merasa harus memulai
pembicaraan. Memandang bintang yang ada tepat di depannya. Melihat kekasihnya bingung menjawab
apa, Garnet tertawa kecil.
“Di tahun kabisat , Januari dan
July, mengawali hari dengan hari yang sama. Di tahun kabisat. Januari dan July,
mengakhiri hari dengan hari yang sama. Sempurna bukan ? Namaku dan Namamu
dihubungkan oleh tahun ini, tahun kabisat. Oleh karena itu aku menganggap tahun
kabisat ini spesial.” Mendengar penjelasan kekasihnya,
July segera melihat kalender di HPnya. Iya juga ya.
Apa kau bertanya siapa itu
Januari ? Ya nama lelaki itu Januarius Garnet,
Januarius di ambil dari nama latin bulan kelahirannya, Januarius Mensis,
dan Garnet diambil dari batu permata yang melambangkan bulan itu.
Dan nama perempuan itu Quintilis
July, Quintilis diambil dari nama bulan kelahirannya sebelum ia diganti menjadi
July. Quint berarti lima, karena dahulu July adalah bulan kelima dengan Maret
di awal tahun. Sebelum akhirnya di ubah menjadi July untuk mengenang Julius
Caesar.
“Dan seperti yang kau tahu, besok
aku akan ikut ayahku ke London. Melanjutkan studiku disana.” Garnet kembali
memandang langit. Gadis itu diam. Tidak tahu harus berkata apa. Ada perasaan
aneh yang mengungkung dirinya. Memang hari ini hari terakhir mereka
bertemu. July tidak bisa mengantar kepergian Garnet esok. Karena ia harus
menyelesaikan urusan kuliahnya.
23:59, Malam tahun baru, di caffe,
bertambah dingin.
Malam ini… . Malam
Januari. Aku selalu heran dengan mereka. Mereka yang gemar
menyalakan kembang api untuk menyambut J-a-n-u-a-r-i.
Memang cahanya yang indah dapat
memjadikan malam terasa lebih elegan, lebih spektakular.
Tapi apa mereka lupa ? “Entah
Siapa Nama-Nya” telah memberikan kita hal yang lebih hebat daripada kembang
api.
B-I-N-T-A-N-G.
Hei ! Apa salahnya malam ini
kalian mematikan lampu seluruh kota untuk melihat indahnya bintang ? Yang
telah kalian nafikan. Yang telah kalian lupakan setahun kemarin dan tahun-tahun
sebelumnya. Bahkan Kalian menggantinya dengan bintang-bintang palsu. Yang kalian
namakan kembang api.
Dengan bodohnya kalian menghabiskan
uang berjuta-juta rupiah hanya untuk cahaya yang sekejap itu ?
Dengan bodohnya mereka menghabiskan
uang berjuta-juta rupiah hanya untuk “SYUUUIIIT. B-U-M, CTAARRR. JDAARR.”
Itu ?
Aku tidak mau anak-anakku kelak
mengenal bintang hanya dari buku ? dari gambar-gambar? Atau mungkin dari
proyeksi 3dimensi? atau bahkan manusia sudah bisa membuat langit
buatan. Tapi tidak pernah melihat yang aslinya?
“Oke semuanya !
10….9….8….7…6…5…4…3….2…SATUUUU! SELAMAT TAHUN BARU DUA RIBU DUA BELAS !!!”
Suara-suara terompet berkumandang,
Kembang api- kembang api besar dinyalakan. Menggelegar. Tak mau kalah dengan
bunyi terompet. Menandakan Januari telah datang.
Tetapi kulihat gadis itu tetap
berkutat dengan notebooknya. Tidak memperdulikan kemeriahan di sekitarnya.
Malam ini… . Malam Januari. Aku
menunggumu… . (Sepertinya kau tidak akan datang.)
Hei bodoh ! Aku ada disini.
Ingin sekali aku menepuk pundaknya, tapi aku mengurungkan niatku. Aku ingin
membaca tulisannya, ingin mengetahui apa kata hatinya. Lebih dalam. Ya…
Sesekali aku ingin merasakan menjadi seorang stalker.
Seperti kau menunggu bintang-bintang
itu terlihat walau itu tak mungkin.
Tapi seperti katamu.
Apa salahnya berharap ? Apa
salahnya bermimpi ? itu tidak membuat kita berdosa bukan?
Atau mungkin kau sebenarnya
datang ? Tersembunyi dibalik keramaian. Dibalik gemerlap kembang api,
Tertutup langit yang kelabu.
Aku berpindah tempat agar bisa
melihat wajah gadis itu. Tentu dari tempat yang tidak terlihat olehnya. Aku
belum mau gadis itu menyadari keberadaanku. Gadis itu mengulangi lagi
ritualnya. Wajahnya terlihat seperti menahan rasa sedih yang menusuk-nusuk
mencari lubang dihatinya. Membuatnya menganga semakin lebar.
Aku tahu kau gadis koleris. Pasti
sulit bagimu untuk menangis. Harga dirimu terlalu tinggi. Atau mungkin ternyata sekarang mulai
muncul kuncup-kuncup melankolis di dalam dirimu? Berusaha keluar mendobrak
pertahanan Sang Koleris. Mendesak hipotalamus merangsang kelenjar lakrimal.
Tapi tetap saja. Air matamu itu tidak keluar. Hanya berfungsi normal
sebagai pembasah bola mata. Tidak mengeluarkan lebih banyak hormon yang konon
bisa menghilangkan rasa sakit, fisik maupun batin.
Aku menunggunya kembali mengetik.
Tapi gadis itu sepertinya kehabisan kata-kata. Sekarang pandangannya kosong.
Menatap atap bening yang dijatuhi oleh hujan. Sedangkan aku lebih suka menatap
matanya yang bening itu mengeluarkan hujan.
22:59,
31 July, 4 tahun yang lalu, di caffe yang sama, hujan mulai turun.
“4 tahun itu waktu yang singkat
July.” Lelaki itu mencoba menenangkan amarah kekasihnya.
Keadaan romantis berubah 180
derajat. Wajah gadis itu memerah. Lateral orbitofrontal cortex –bagian
otak yang mengatur rasa marah - milik gadis itu mulai bekerja. Seluruh
pengunjung caffe berusaha tidak mencampuri urusan mereka. Walau sesekali
beberapa pasang mata mencuri-curi pandang.
“Singkat katamu ?! Dengan aku
tidak boleh mencoba mengontakmu selama itu ?! Sekalian saja kau bakar
foto-foto kita ! Agar aku tidak pernah mengingatmu !” Melihat lelaki itu tidak memberikan
jawaban. Nada perempuan itu semakin tinggi
“Kau tidak takut aku pindah ke
lain hati ? Oh … Aku tahu… Kau kan yang ingin mencoba mencari perempuan
lain ? Atau mungkin sudah ada tanpa sepengetahuanku.” Emosinya yang tidak
stabil membuatnya memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Mencoba
membuat pelindung agar dirinya tidak disakiti lebih dari ini.
Padahal lelaki itu tidak bermaksud
buruk. Ia hanya tidak ingin kekasihnya terjebak. Membuatnya tidak melirik
lelaki lain yang mungkin lebih baik untuknya. Ia tidak ingin kekasihnya kecewa.
Jika ternyata ia bukanlah orang yang terbaik untuknya. Tetapi begitu sulitnya
membuat gadis itu mengerti apa yang ia pikirkan.
“4 tahun kedepan tanpa kontak apapun
darimu. Akan membuat pertemuan kita saat itu jauh lebih berarti July… . Aku
tidak mau kita membina hubungan jarak jauh. Kurasa itu akan sangat menyakitkan.
Kau tahu kan kenapa aku jarang meneleponmu? Bagiku berkomunikasi adalah menatap
wajah lawan berbicara.”
Gadis itu mencoba menahan emosinya,
mendengar semua penjelasan kekasihnya. Ia percaya. Lelaki itu tidak berbohong.
Karena terdapat simbol ketulusan di bola matanya.
“31 July, tanggal yang indah untuk
mengakhiri sesaat hubungan kita bukan ?, 4 tahun lagi…Di tahun baru
kabisat. Kita akan bertemu disini. Kembali memulai cerita yang sempat
terputus.” Lelaki itu tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak dapat mengeluarkan
apa yang sebenarnya ada dalam hatinya. Aneh. Padahal biasanya ia
terang-terangan mengungkapkan isi hatinya.
“Oh ? Jadi kau ingin kita
putus ? Oke ! Kau bilang mengakhiri sesaat ? KUBILANG
S-E-L-A-M-A-N-Y-A ! Kau ingin kita bertemu disini 4 tahun lagi ?! AKU
TIDAK BERJANJI AKU BERADA DISINI 4 TAHUN LAGI !” Emosi gadis itu sudah
memuncak. Ia mengambil tasnya, berlari keluar caffe. Entah menuju kemana.
Sementara lelaki itu ? Lelaki
itu kembali menengadah ke langit. Menikmati indahnya langit kelabu. Walaupun
pandangannya sekarang kabur terhalang oleh air mata.
Karena ia menyadari kesalahannya.
Malah dengan perkataan seperti itu akan membuat kekasihnya semakin terjebak.
Dan itu benar, malam-malam
sesudahnya dilewati gadis itu dengan tangisan dan penantian. Ia menjadi merasa
risih saat dekat dengan lelaki lain. Terkadang cemburu kekasihnya sudah pindah
ke hati seseorang yang hanya ada dalam bayangannya.
00:23,
1 Januari, dingin menjelma menjadi tombak yang menghunjam tulang.
Gadis itu sempurna menangis. Mungkin
hanya aku yang menyadari bahwa dia menangis. Kebanyakan orang disini sibuk
dengan acaranya masing-masing. Masih terlena akan datangnya tahun baru. Padahal
bagiku itu tidak berarti apa-apa. Sama saja seperti datangnya hari esok. Itu
tetap saja hari yang baru bukan ?
Oh, akhirnya ia kembali mengetik.
Aku sudah menunggunya hampir setengah jam. Untung aku tidak terburu-buru
menyapanya.
Januari… .
Apa karena kata-kataku waktu itu
“Entah Siapa Nama-Nya” tidak mengizinkan kau datang ?
Tidak….Aku datang July… Kau saja
tidak menyadari keberadaanku.Tapi aku belum mau menyapamu. Walau hatiku getir
melihat tangismu.
¤Ah. Aku tidak mau melihatnya lebih
sedih dari ini. Sepertinya lebih baik aku menyapanya
“JULY !”
.
.
.
.
Ia tidak menoleh….Seserius itukah ia
mencurahkan isi hati kepada notebooknya ?
Aku mencoba mendekatinya, berniat
mengagetkannya dengan menutup kedua matanya dan berkata
Tebak siapa…!!
Tulisanmu akan berakhir indah
July.. Sang pangeran berkuda putih sudah datang.
.
.
.
.
.
.
Saat itu pukul 23:00, 3 Hari
setelah natal, Entah mengapa langit dipenuhi bintang.
3 hari lagi. 3 hari lagi sampai
waktu yang kamu janjikan
Ternyata kau benar…4 tahun itu waktu
yang singkat. Dibandingkan mereka yang menunggu hampir 20 tahun.
Tapi tetap saja. Rasa
sakit…kangen….rindu…sedih…galau…marah…Karena menunggu kau datang tidak bisa
diremehkan. Aku akan balas dendam..lihat saja nanti.
AKU AKAN B-A-L-A-S
D-E-N-D-A-M JANUARI !
Tidak sadar aku menulis kalimat
seperti di
HP ku…Cepat-cepat aku menghapusnya…
.Tidak ingin nanti ia membacanya.
Aku melihat langit… .berharap bisa
lebih mengingatkanku padanya.
“HEI ! Ada banyak bintang
disana ! Mungkin ini pertanda baik.” Hatiku sedang berbunga-bunga
sekarang…Semua hal aku anggap sebagai pertanda baik.
Ya..semua hal aku anggap pertanda
baik. Karena aku mendengar bahwa Garnet sudah sampai di bandara pukul Sembilan
tadi. Tentu saja dari Ibuku. Bukan darinya. Kita kan lost
contact selama 4 tahun ini.
“Ah siapa itu, menggangguku yang
sedang melamun saja” keluhku saat terdengarketukan di pintu kamar
tidurku. Eh… . Apa mungkin itu Garnet ? Ah tidak mungkin.…
“July… . ini
mamah.” Sial ternyta bukan Garnet. Aku terlalu banyak
berharap.
Seketika
itu aku sadar. Ternyata
bintang-bintang itu bukan pertanda baik.
00:34,
1 Januari, mendadak hangat
Malam ini… . Seharusnya kisah baruku
dimulai.
Tapi sepertinya waktu berhenti saat
aku mendengar berita kematianmu.
Waktu m-e-m-b-a-t-u. Seperti
hatiku… .
Padahal sebelumnya mulai tumbuh
kuncup-kuncup bunga disini… .
Padahal sebelumnya sungguh kupu-kupu
itu berterbangan… .
Padahal sebelumnya burung-burung itu
berkicau riang… .
Saat aku mendengar kau sudah tiba di
bandara.
Tapi sepertinya “Entah Siapa
Nama-Nya” berkata lain. Ia sepertinya lebih senang kau berada disisi-Nya .
Bukan disisiku.
Haruskah aku C-E-M-B-U-R-U kepada-Nya ?
HEI WAHAI ENGKAU YANG AKU TIDAK TAHU
SIAPA NAMANYA !
Mengapa kau menghilangkan sumber air
tepat disaat kuncup-kuncup itu akan mekar ?!
Tidak bisakah kau membiarkannya
tetap mengalir ?! Setidaknya biarkan kuncup-kuncup itu merekah
sedikit memperlihatkan warna yang indah.
Tapi aku tidak marah kepada-Mu.
Sama sekali tidak mengutuk-Mu.
Karena aku tahu selama ini Kau
selalu memberikan apa yang terbaik bagiku
Tapi “Entah Siapa nama-Mu” k-u-m-o-h-o-n…
Setidaknya izinkan aku bertemu
dengannya… . Sekedar untuk meminta maaf… .
Atas kata-kataku 4 tahun yang lalu.
Atau Kau bisa membiarkan cahaya
bintang-bintang itu menembus langit kelabu.
Agar aku bisa berkhayal salah satu
dari bintang itu adalah kamu Januari.
Dan meminta maaf… . karena dahulu
akupun menafikan bintang-bintang itu.
Agar aku bisa berkhayal… .
Kau bisa melihatku dari sana… . Kau
bisa mendengarkan permintaan maafku… .
Dan tentu saja kau bisa mendengar
janjiku… .
AKU TIDAK AKAN MEMBIARKAN
POLUSI-POLUSI DI BUMI MENGABURKAN INDAHNYA CAHAYA BINTANG !
Maka seketika itu langit bercahaya.
Malaikat-malaikat bernyanyi menyampaikan doanya.
Dan ya ! Tuhan mengabulkan
doanya saat itu juga. Walau hanya satu bintang.
Hanya satu bintang terlihat di
langit kelabu itu. Di antara polusi. Di antara kembang api. Dengan gagah
melibas cahaya-cahaya lampu kota.
"Ya… .aku bisa merasakan kau
datang Januari. aku bisa merasakan kau datang… . Kau sudah menepati janjimu…
." Gadis itu menengadah ke langit. Tersenyum. Walau hujan masih turun di
kedua matanya.
*****
0 comments:
Post a Comment