Untuk yang Hilang

Untuk yang Hilang
Wahai gadis yang kucintai. Wahai ratu pembawa kemenangan yang telah memenangkan perang di dalam hatiku. Apakah tangis, marah, tawa kita selama ini cukup mengesankan bagimu ? Apakah kamu ingat saat pertama kali kita bertemu, Freya ? Apakah kamu ingat tentang kisahmu yang dapat meluluhkan hatiku? Apakah kamu ingat ?
***

Minggu akhir liburan Sekolah, Freya berlibur menjelajahi Pulau Sumatera bersama keluarganya. Mereka menjelajahi Sumatera menggunakan mobil, mulai dari Lampung sampai Aceh . Selama di sana, ia kerap sekali menjadi pusat perhatian. Selain karena wajahnya yang sangat manis bila dibandingkan orang-orang di sekitar sana, Tubuhnya yang mungil menambah kemanisan pada dirinya, rambutnya yang dipotong pendek begitu serasi dengan wajahnya, ia juga sangat lincah bermain kesana-kemari. Tidak pernah malu bermain dengan orang yang ditemuinya disana, walaupun bahasa membatasi mereka.
Kekanak-kanakan, memang sifatnya tidak mencerminkan sifat seseorang yang baru saja lulus SMP tetapi ia termasuk orang yang tabah dan dapat mengendalikan emosinya. Mungkin sifat kekanak-kanakannya itu karena ia baru berumur 14 tahun. Tetapi, siapa sangka ia akan sangat berubah saat duduk di bangku SMA.
Saat ia dalam perjalanan menuju Bandung kondisi tubuhnya mulai memburuk. Wajahnya mulai terlihat pucat, Ia merasa sangat letih dan sulit bergerak, bahkan berbicara. Semua orang menduga ia hanya keletihan karena perjalanan selama 6 hari ini. Orangtuanya hanya menyuruh Freya untuk beristirahat. Mereka tidak mengetahui bahwa sebenarnya sesuatu yang buruk telah terjadi.
Hari berikutnya kondisi tubuhnya semakin memburuk. Wajahnya sangat pucat dibasahi keringat yang terus-menerus mengalir, matanya sulit sekali untuk dibuka, tidak ada tenaga sama sekali untuk bergerak, Freya hanya bisa mengumam menunjukan dirinya merasa tidak nyaman. Melihat kondisi Freya yang seperti itu, orangtuanya segera mencari rumah sakit terdekat, tetapi karena saat itu mereka sedang tidak berada di kota besar sulit sekali mencari tempat berobat yang memadai. Tetapi beruntung, akhirnya mereka menemukan sebuah rumah sakit. Freya pun segera dilarikan ke UGD dan diberi pertolongan oleh dokter disana.
Freya didiagnosa menderita tyfus, Ia terpaksa menjalani rawat inap disana. Mungkin karena ia terlambat diobati, Freya sempat mengalami koma. Ibunya terus mengusap-usap dahi Freya sambil  menangis disampingnya sedangkan ayahnya sibuk memberitahu nenek dan kakeknya tentang kondisi Freya saat ini. Memang Freya adalah cucu pertama sehingga ia sangat dimanjakan oleh kedua nenek dan kakenya.
Setelah hampir setengah hari Ia tidak sadarkan diri Freya mulai membuka kedua matanya,  meraba-raba tangan Ibunya yang tertidur disampingnya. Wanita itu segera terbangun merasa ada yang meraba tangannya. Menyadari Freya telah terbangun dari komanya , wanita itu menitikkan air mata bahagia dan berteriak memanggil suaminya untuk menghampiri Freya. Tapi siapa sangka Freya tidak sembuh sepenuhnya. Ia bisu…
***
Saat terbangun dari tidurku, aku mencium bau rumah sakit yang sangat khas dengan wangi obat-obatannya. Mencoba mencari tahu ada di mana diriku berada, aku melayangkan pandangan ke sekitarku.
Gelap.
Tidak ada siapa-siapa.
Aku sendirian. Aku sendirian. Aku sendirian di tengah ruangan gelap, tanpa seorangpun berada di sampingku. Dan…
Tidak bisa bergerak.
“…”. Aku mencoba untuk berteriak memanggil orangtuaku. Tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku !
Aku mencoba berteriak sekali lagi. Lebih keras!
“ … “ Suaraku tetap saja tidak keluar dari mulutku, tidak ada getaran sedikitpun yang terasa pada tenggorokanku. Bahkan erangan atau gumaman pun tidak terlontar dari mulutku ini.
“Kejadian kemarin bukan mimpi ! Aku benar-benar bisu ! Aku benar-benar bisu !  Aku benar-benar bisu !” Aku mencoba mengeluarkan kalimat itu dari mulutku. Tapi…  
Shock ! Marah ! Sedih ! semua bercampur menjadi satu dalam hatiku. Tapi aku tidak menangis. Aku tidak menangis !
Tidak sedikitpun air mata tertumpah dari mataku. Pertanyaan-pertanyaan berkecamuk di otakku, kenangan-kenangan masa lalu yang terputar kembali di dalam kepalaku. Bila aku bisa mengamuk, aku akan mengamuk sejadi-jadinya. Tapi keadaan melarangku untuk seperti itu. Badanku seperti membatu. Mati rasa.
“ Ya Tuhan, mengapa kau cabut kemampuanku untuk berbicara ? Apa karena banyak kata-kata yang terlontar dari mulutku ini menyakiti orang lain ? Atau karena mulutku ini jarang sekali digunakan untuk menyenandungkan ayat-ayat-Mu ? Ya Tuhan kalau memang ini yang terbaik bagiku, Aku memohon kepada-Mu untuk menguatkan hatiku agar tabah dalam menjalani ujian ini.”
Rasa hangat apa ini ? Rasa hangat apa ini yang mengalir di pipiku ? Air mata ? Ya ! Air mata!  
Aku menangis ? Aku menangis ? Sudah lama sekali Aku tidak meneteskan air mataku.
Rasa hangat air mata yang mengalir di kedua pipiku terasa sangat janggal. Aku mencoba menghentikan air mata ini dengan kedua tanganku. Tetapi percuma, tanganku tidak bisa digerakan. Hanya tersisa air mataku mengalir dengan derasnya menuju tempaku berbaring.
“Apa anak kita sebaiknya di sekolahkan di SLB saja ya mah ?”
Suara apa itu ? Seperti suara ayahku. Aku mencoba mengerahkan pendengaranku. Air mataku ini masih terus menetes, walaupun sudah tidak sederas tadi.
Tetapi sayang sekali, sekarang bukan saja sulit untuk bergerak. Pelupuk mataku terasa sangat berat. Apa ini merupakan efek obat yang diberikan kepadku ternyata mengandung obat tidur. Padahal aku masih ingin mendengar bagaimana perasaan kedua orangtuaku melihat keadaanku yang seperti ini.
Mungkin Aku tidak bisa mendengarnya lagi di kemudian hari , karena pasti apa yang dikatakan seorang manusia di depan manusia lainnya tentang perasaannya. Walaupun sedikit, namun pasti tersimpan kebohongan
***
Wahai gadis pendiam. Seperti itulah ceritamu saat kau bercerita kepadaku bagaimana perasaanmu saat kau mengalami kejadian yang sangat menyedihkan tersebut. Mungkin tulisanku ini tidak dapat menggambarkan dengan utuh perasaan tercabik-cabikmu saat itu.
Asal kau tahu saja Freya, aku menceritakan hal ini, agar kau ingat saat dimana kau mulai bersikap terbuka kepadaku. Dengan meneteskan air mata di bahuku. Air matamu sangat hangat Freya.
***
Beberapa hari kemudian, Freya sudah diperbolehkan untuk pulang. Kondisi tubuhnya sudah normal walaupun ia tetap bisu. Dokter disana mengatakan bahwa sebaiknya Ia diperiksa lebih lanjut di Bandung. “Di sini hanya Rumah Sakit kecil, mungkin bila Anak Ibu di periksa Di Rumah Sakit yang lebih besar akan ada jalan keluar.” Begitulah perkataan Dokter yang merawat Freya disana.
Karena ini hari Sabtu dan Senin sekolah sudah dimulai (sebenarnya MOS sudah dimulai sejak seminggu yang lalu) dan kedua orangtua Freya harus mulai bekerja, merekapun memutuskan untuk pulang ke Bandung menaiki pesawat terbang.
Selama perjalanan, Freya hanya terdiam. Kedua orangtuanyapun tidak berani berbuat sesuat kepada putri kesayangannya itu, hanya canda-canda kecil yang mereka lontarkan untuk menghangatkan suasana. Tapi semua itu tidak berefek sedikitpun, Freya tetap saja diam. Memang Freya yang biasanya lincah dan selalu ceria, sekarang berubah menjadi pemurung.
Mereka tiba di bandung pukul 9 malam, tidak sempat memeriksakan Freya ke Rumah sakit terlebih dahulu. Terpaksa Freya harus diperiksa sepulang sekolah nanti. Saat ditanya apakah besok ia mau tetap berangkat ke sekolah. Ia hanya diam, mengangguk. Tidak tahu sedikitpun apa yang ada di dalam pikirannya. Apakah perasaan enggan , atau takut tertanam dalam-dalam di hatinya.
Freya tetap bersekolah di SMA negeri favorit tersebut. Ibunya sudah berbicara dengan kepala sekolah dan wali kelas Freya. Mereka menerima dan berjanji akan memperlakukan Freya sama seperti siswa yang lain, bahkan mungkin memberikan perhatian lebih kepada Freya.
***
Tanpa banyak bicara. Mungkin lebih tepatnya tanpa banyak menulis. Aku langsung mencium tangan kedua ibuku sebagai tanda pamit akan berangkat kesekolah.
Disekolah ini, aku satu-satunya siswa dari SMP-ku yang memang berada di luar kota. Jadi, aku belum mempunyai teman satupun, terlebih lagi Aku tidak mengikuti Pengenalan lingkungan sekolah atau MOS sehingga aku benar-benar tidak mengenal siapapun di sekolah ini.
 X-5 , Ruangan 23. Aku mencari-cari dimana letak ruang kelasku. Bagaikan pepatah yang berbunyi Malu bertanya sesat di jalan. Aku benar-benar tersesat.
Padahal banyak sekali manusia-manusia bertebaran disini seperti menunggu untuk ditanya. Tetapi perasaan aku merasakan perasaan yang aku belum pernah rasakan sebelumnya. Malu.
“X-5 dimana ya ?” terdengar suara seseorang sedang bertanya.
Akupun segera mencari sumber suara itu. Seseorang anak laki-laki dengan sikap tubuh yang slengean sedang menanyakan letak ruangan kepada temannya. Akupun segera mengikuti laki-laki tersebut. Mau dikatakan apalagi ? Walaupun sekolah ku ini kecil , tetapi setidaknya disini ada 30 ruang kelas jadi lebih baik aku mengikutinya.
Sesampainya di ruang kelas, aku melontarkan senyum kepada semua siswa yang ada disana dan segera mencari bangku yang kosong untuk ditempati. Layaknya siswa yang belum mengenal siapa-siapa, aku hanya diam duduk dibangkuku, bersikap seolah-olah menyiapkan peralatan belajar. Sedangkan para siswa yang merupakan alumnus SMP favorit di kota ini yang merupakan mayoritas siswa di SMA ini dengan asiknya bercanda dengan teman-teman satu sekolahnya dulu.
Bel tanda masuk sudah berbunyi. Tetapi seperti hari pertama sekolah pada umumnya, tidak ada satupun guru yang  masuk ke kelas kami. Beberapa anak dikelasku inisiatif berkenalan sambil berkeliling membuat database kelas seperti nama, alamat, nomor telepon, dll.
“Nama kamu siapa ? Belum pasang badge nama ya ?” Aku segera tersadar dari lamunanku, mencari-cari siapa yang bertanya. Ternyata itu suara anak laki-laki yang aku temui tadi pagi. Ia ikut berkeliling bersama teman-temannya yang lain untuk berkenalan. Aku hanya tersenyum kepadanya, dan segera menuliskan data pribadiku dikertas edaran tersebut.
“Freya Aprilia. Kamu lahir bulan April ya ?” Tanya anak laki-laki tersebut. Sambil tersenyum Aku segera menunjuk bagian tanggal lahir.
Anak laki-laki itu terdiam sejenak, lalu melihat kearah aku menunjuk dengan bolpointku.
“Bandar Lampung, 15 Juni 1994. Juni ?” anak laki-laki itu terlihat kaget. Tak lama kemudian ia dan anak-anak yang lainnya mulai tertawa. Ya memang namaku ini selalu menjadi perhatian saat perkenalan pernama, jadi aku sudah terbiasa melihat pemandangan seperti ini.
“Bara.” Tiba-tiba anak laki itu menjulurkan tangannya untuk bersalaman denganku. Terdiam sejenak, akhirnya aku membalas menjabat tangannya sambil tersenyum.
            “Ilham.” “ Tri.” “Ghani.” “ Icha.” Anak-anak yang lainpun turut memperkenalkan namanya masing-masing, lalu segera berpindah ke meja berikutnya.
Tiba-tiba Bara mengambil tasnya dari tempat duduknya yang dulu, lalu menghampiriku dan bertanya, “Boleh aku duduk disini ?”
Aku terdiam sejenak untuk berpikir, lalu Aku menganggukan kepala tanda mengizinkan.
“Kamu lucu ya , dari tadi tidak berbicara sedikitpun, aku jadi teringat akan adikku.” tanyanya bercanda sambil mengelus-elus rambutku.
Oh tidak Aku gemetar merasakan rambutku dielus ?
Aneh ! Padahal dulu aku sering bermain dengan anak laki-laki dan sering sekali rambutku dielus-elus seperti ini. Tapi sepertinya kali ini berbeda, ada yang perasaan aneh yang baru aku rasakan kali ini.
Melihatku hanya diam, Bara terus menggodaku, “Suara kamu jelek ya ? sampai ga mau ngomong sedikitpun ?”
Tiba-tiba aku merasakan pusing yang amat sangat, mungkin karena perasaan takut, malu, marah, sedih , bingung berkecamuk di dalam kepalaku. Ingin sekali aku mengatakan kepadanya .”Aku bisu ! Puas ?”
“Semuanya ! Mohon Perhatian !” untunglah aku diselamatkan oleh suara tersebut , sehingga aku tidak harus menjawab pertanyaan Bara.
“Sekarang kita akan mengadakan pemilihan ketua kelas , ada yang ingin mencalonkan diri atau mencalonkan temannya?”
Serentak anak-anak di kelasku langsung menunjuk ke arah orang yang berbicara tadi seraya berkata,” Kamu aja !”
Ya, dan akhirnya terpilihlah orang tadi menjadi ketua kelas. Ilham namanya.
“Cepat sekali pemilihannya.” Kataku dalam hati.
Setelah itu beberapa temanku yang aktif segera maju ke depan untuk menentukan organigram kelas. Barapun langsung berlari ke depan tidak mau ketinggalan momen tersebut. Akhirnya  mereka memutuskan untuk menjadikan semua siswa yang ada disini memeliki jabatan. Walaupun jabatan yang sangat-sangat tidak penting sekalipun. Seperti Bara, ia menjadi wakil wakilnya wakil ketua kelas bagian logistik. Dan Aku entah kenapa  tiba-tiba terpilih menjadi seksie rohani. Padahal aku tidak berjilbab, dan sepertinya tampangkupun tidak mencerminkan seorang yang alim.
 Setelah penentuan stuktur organisasi kelas kondisi kelas kembali menjadi tidak kondusif sampai beberapa saat kemudian seorang guru memasuki kelas kami. Layaknya anak sekolahan, saat guru masuk terjadi kehebohan yang luar biasa untuk kembali ketempat duduknya masing-masing.
Wanita itupun segera duduk dimeja guru, dan berkata “Assalamualaikum, perkenalkan nama Ibu, Ibu Ida Rohayani panggil saja Bu Ida. Sebelumnya ibu minta maaf karena tadi ibu mengikuti rapat terlebih dahulu di ruang guru sehingga ibu terlambat masuk ke kelas. Ibu disini diberi amanat untuk menjadi ibu kalian, atau biasa disebut wali kelas. Sekarang agar lebih akrab ibu akan mengabsen kalian terlebih dahulu agar ibu kenal nama dan wajah-wajah kalian.”
Bu Ida pun segera mengeluarkan daftar nama dari tasnya dan memulai mengabsen.
“Aisya ?” “Agung ?” “Agustina?” Beliaupun mulai mengabsen sambil mengingat-ingat wajah anak-anak dalam kelasku.
“Freya ?” Akupun segera mengangkat tanganku dan memperlihatkan wajahku kepada ibu guru tersebut sekaligus melihat wajahnya. “Freya… “ Di wajahnya terpancar perasaan bingung seolah bertanya, “Bolehkan ibu menceritakan tentang kondisi kamu saat ini ?”
Ingin sekali aku berkata, “ Bukan Ibu saja yang bingung ! Aku pun bingung bagaimana cara menceritakan keadaan diriku ini. Aku tidak mau direndahkan karena hal ini. Aku tidak mau dikasihani secara berlebihan. Aku hanya mau bersikap seperti layaknya orang normal !”
Tapi ternyata Aku salah. Saat Bu Ida menceritakan tentang diriku ia menceritakannya dengan tidak berlebihan, tidak merendahkan diriku , dan membuat anak-anak kelas mengerti keadaanku dan dapat menerima apa adanya. Yang membuatku aneh adalah satu hal, Bara. Selama Bu Ida bercerita tentang diriku, Ia terus saja menatapku, dimukanya terpancar perasaan bingung , merasa bersalah, aneh , heran, dll.
Sekali lagi, tubuhku seakan-akan bergetar, ada perasaan aneh yang baru kali ini aku rasakan.
“Freya…” Bara tiba-tiba memanggil namaku dengan nada rendah. Aku sama sekali tidak membalas panggilannnya. Bukan karena aku tidak mau, tapi karena aku tidak bisa.
Tubuhku tidak menuruti apa kata hatiku, detak jantung terdengar menjadi lebih cepat, perasaan-perasaan berkecamuk di otakku. Lama sekali perasaan ini berlangsung. Dan tidak terasa bel pulang sekolah sudah berbunyi.
Anak-anak kelasku langsung mengelilingiku, memintaku menceritakan semuanya. Merasa terintimidasi,aAku kabur dengan dalih aku telah dijemput oleh kedua orangtuaku untuk segera memeriksakan diriku ke rumah sakit.
“Nak, ibu sudah ada di depan gerbang sekolahmu.” SMS masuk ke handphoneku.
 “Freya, aku boleh ikut ke rumah sakit ?” tiba-tiba terdengar suara Bara memanggilku. Ling-lung Akupun secara tidak sadar menganggukan kepalaku.                             
***
Wahai gadis yang lahir di bulan Juni. Kemana sekarang kau menghilang ? Telah kutuliskan kisah tentang awal perjumpaan kita. Agar jika suatu saat kau membacanya. Kamu dapat mengingatnya. Aku sengaja menuliskannya menurut sudut pandangmu yang dulu saat kita bersama sempat engkau ceritakan kepadaku. Agar kau dapat mengingatnya Aprilia. Mengingat bagaimana perasaanmu dulu terhadapku.
Sekarang aku akan menceritakan menurut sudut pandangku wahai gadis yang hilang. Aku berharap kau dapat membacanya, Karena Aku tidak sempat menceritakan hal ini kepadamu.
***
“Freya, chemistry kita dapet kan di penampilan tadi ?” Aku menggoda Freya yang terlihat keletihan setelah tampil sebagai peran utama dalam kabaret tersebut.
Aku tahu Freya tidak akan menjawab godaanku, karena saat itu ia tidak membawa kertas dan alat tulis. Ia hanya menunjukan ekspresi muka sebal tapi senang. Wajah manisnya tidak pernah berubah menjadi masam walaupun ia berekspresi seperti apapun. Kecuali saat ia berada di atas panggung. Freya seakan menjadi seseorang yang berbeda. Kekurangannya tidak berlaku saat ia bermain di atas panggung. Karena semua dialog merupakan rekaman yang telah diolah sedemikian rupa. Ia hanya perlu lipsync
“Freya.” Aku menaruh tanganku di atas kepalanya, mengusap-usapnya dengan lembut. Ia pun dengan wajah yang masih terlihat letih, tidak menolak kepalanya aku sentuh. Hanya duduk manis menunggu kata-kataku selanjutnya.
Aku menurunkan tanganku, mendekatkan diriku agar tepat duduk disebelahnya.
“Sebentar lagi kita kelas 3 Freya, sudah tidak banyak lagi waktu seperti ini. Waktu-waktu untuk berdiri diatas panggung dan menghibur semua orang. Waktu-waktu merasakan euphoria saat sebelum penampilan. Waktu-waktu dimana kita dapat duduk santai menikmai keindahan alam yang walaupun telah dirusak oleh sebagian manusia.”
Freya menorehkan pandangnya kepadaku, matanya yang begitu lembut membuatku tidak kuat untuk terus memandanginya. Akupun segera membuang mukaku dan menengadah melihat ke arah langit.
“Freya, 2 tahun ini, aku sangat senang bisa bertemu orang sepertimu. Kamu satu-satunya orang yang dapat memperbaiki kekuranganku untuk mengambil keputusan. Karena nasihatmu sekarang Aku mengambil keputusan bukan hanya dengan mengandalkan hati nuraniku. Tapi juga melihat sisi rasionalitas dengan menggunakan akal sehatku.”
“Aku berterimakasih sekali kepadamu Freya, kamu telah membuat hari-hariku yang tidak teratur menjadi lebih teratur. Lebih memikirkan perasaan orang lain. Sekarang aku sudah terbiasa untuk berpikir dulu sebelum berbicara.”
Kita berduapun kembali menengadah ke arah langit.
***
Kau ingat saat itu Freya ? Setelah itu kita hanya duduk terdiam tanpa sepatah katapun keluar dari mulut kita. Bagaikan telah terikat, kita dapat saling mengerti hanya dengan duduk bersebelahan. Aku ingat Freya. Saat itu hampir 2 jam kita hanya berdiam diri. Tapi tidak ada seorangpun diantara kita yang merasa bosan.
Kau ingat saat itu Freya ? Itu adalah hari paling menyenangkan sekaligus menyedihkan yang pernah aku alami bersamamu. Kau tahu kenapa Freya ? Kau ingat kenapa Freya ?
Itu adalah hari pertama dimana Aku merasakan hati kita telah terikat dengan kuat, walaupun tidak ada status kekasih diantara kita.
Itu adalah hari dimana aku terakhir kali bertemu denganmu.
Karena setelah itu, saat aku sampai dirumah rumahku sedang di datangi penagih hutang.
Usaha ayahku bangkrut !Orang-orang tersebut menjarah seisi rumahku dengan kasar.
Kami hanya di sisakan pakaian yang saat itu kami kenakan dan ongkos untuk pulang kampung ke kampung kami di Kalimantan. Untung kami masih memeliki keluarga disana.
Bila saja kau tahu Freya ? Saat itu handphone ku pun diambil oleh mereka sehingga aku tidak dapat mengabarimu apa-apa. Tapi mungkin kamu telah mendengar kabar tentang diriki dari guru atau pun orang-orang di sekitar rumahku.
Bila saja kau tahu Freya ? 1 Tahun ini, aku terus menerus mencarimu melalui media internet dan mencari tahu lewat teman-teman saat kita SMA dulu. Tapi aku tidak dapat menemukanmu Freya.
Wahai gadis yang hilang. Sekarang Aku kembali ke Bandung. Mengambil kuliah Desain disana. Berharap suatu saat bisa berjumpa denganmu.
Wahai gadisku yang hilang. Cerita ini tidak selesai sampai disini. Bukankah kau juga ingat Freya ? masa-masa 2 tahun yang kita lewati menyisakan banyak kenangan indah di otakku ini yang sulit dilupakan.
Dan agar kau dan aku tidak melupakannya Freya. Aku mengabadikan kisah kita dalam sebuah karya. Agar bila suatu saat engkau membacanyanya Aprilia. Engkau dapat mengingat semua cerita-cerita kita. Agar semua itu tidak hilang, Untuk yang Hilang.
***


0 comments:

Post a Comment