2.000

Mobil ke-1.962 baru saja melewatti pekarangan rumah Dina. Pekarangan rumahnya memang biasa dilalui kendaraan sebagai jalur alternatif. Walau sebenarnya, untuk dikatakan pekarangan juga tidak terlalu tepat. Pekarangan itu hanya berupa jalan sempit dimana orangtua Dina menjemur pakaian.

Selama Aku bercerita, ada tiga mobil lagi lewat, artinya sudah 1.965 mobil. Sayup-sayup, aku bisa mendengar suara orang minta tolong, menangis, mengiba, mencela, memaki, dan bunyi tiidak enak didengar lainnya. Tapi rombongan mobil plat merah yang lewat kemudian mampu menyamarkan suara tersebut dengan deru mesinnya.

Sudah hampir mobil ke-2.000 dan Dina belum juga pulang. Mungkin Dina sedang asik menonton kerusuhan di sudut sana. Bukan sudut sih, di tengah sana mungkin lebih tepat. Karena orang-orang seperti ibu Dina hanya layak memiliki rumah di sudut-sudut.

Dua mobil lagi lewat, berartu sudah tepat mobil ke-2.000. Dina berdiri dengan mulut belepotan sambal dan tangan berminyak menghalangi mobil ke-2.001, 2002, dan 2.003 untuk lewat. Tak kuat mendengar bising klakson, Dina menyengir lantas berlari menuju ibunya yang sedang lelah menyetrika.

“Ma, kalau beli ayam kita harus beli dadanya kan, Ma? Soalnya dada tuh dagingnya paling banyak. Masa tadi Fira bilang kalau kita harus beli paha, kata dia, dada tuh dagingnya keras, Paha tuh… baru empuk!” Dina mencoba meniru cara bicara Fira, anak kompleks sebelah.

“Langsung aja aku bilang, Paha tuh dagingnya sedikit, dada dagingnya banyak! Jadi kenyang! Eh, si Fira malah nyolot, dia bilang, kalau kenyang tapi ga enak tuh percuma!” Dina memukul meja di sebelahnya.” Kesel kan…dimana-mana juga yang penting kenyang!”

“Terus kalian jadinya beli apa?” Tanya Ibu sambil masih lelah menyetrika.

“Beli…sayap sih, uang Dina kan cuma ada 2.000, uang Fira juga 2.000. Paha sama dada harganya 6.000, jadinya Cuma cukup buat beli sayap yang harganya 4.000.”

0 comments:

Post a Comment