Paduka Tidak Pernah Salah

“Paduka tidak pernah salah!” Segera sang Ajudan bergegas meninggalkan meja perjudian menuju lantai dansa. Sang Ajudan mematikan irama. Semua pedansa berhenti, memperhatikan Ajudan membacakan berita.

“Paduka baru saja berkata bahwa tidak ada satu baitpun irama terdengar, namun kalian tetap berdansa.” Seru sang Ajudan membahana.

“Paduka tidak pernah salah!” Para pedansa berseru bersama seraya sang Ajudan kembali ke meja perjudian, yang kini begitu sepi, hanya ada celoteh Paduka dan pada penasehatnya, juga suara kartu dan gemeletuk dadu.

“Haha, kau tahu,Hik! Jabatanmu, Hik! Hanya omong kosong saja, Hik!” Dengan nada suara mengayun dan diselingi cegukkan, Paduka mengarahkan gelas minumannya pada penasehat pertanian,” Karena Hik! Hik! Di negeri ini tidak ada sawahnya! Hik! Hik!”

Semua mata, kecuali Paduka, memandang Sang Ajudan yang berdiri di sudut utara ruangan. “Paduka tidak pernah salah!” Sang Ajudan membeeri hormat, lalu mengirim pesan singkat kepada panglima tentara.

Beberapa detik saja berlalu, puluhan pesawat tempur melintas di jendela. Letupan-letupan kecil terlihat di pinggir kota. Dan rintihan serta doa para petani terdengar di pintu surga. Rintihan tersebut sama dan serupa,” Paduka tidak pernah salah!”

“Dan kau! Hik! Penasehat keuangan Hik! Hik! Kau juga tidak perlu ada!Hik! Hik!” Paduka berhenti sejenak untuk membasahi kerongkongannya. Sang Ajudan sudah bersiap menggenggam telepon-pintarnya.” Hik! Hik!Karena Hik! Uang Negara Hik! Ini sudah tidak Hik! Terhingga jumlahnya! Hik! Hik!”

“Paduka tidak pernah salah!” Segera Sang Ajudan menghubungi semua pengusaha. Di layar-layar kaca, tersiar berita bahwa Negara ini sudah menjadi Negara terkaya di alam semesta, juga berita tentang kematian penasehat keuangan yang baru saja terjadi.

Cegukkan Paduka beertambah parah. Paduka menutup hidungnya untuk meminimalisir bau darah yang mengalir dari kepala penasehat keuangan.

Hik! Hik! Hik! Hik! Bersihkan Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Darah si tua Hik! Hik! Hik! Itu Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Lebih baik aku mati Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik! Hik!”
Paduka mengambil segelas air untuk menghentikan cegukkannya. Saat ia meminumnya, terdengan suara dari sudut utara.

“Paduka tidak pernah salah!”, Sang Ajudan menarik pelatuk dari pisrol yang biasa disimpan di saku celananya. Membuat Paduka tidak sempat menyelesaikan kalimat yang tadinya ingin ia ucapkan.

“Daripada terus mencium bau busuk itu.” Kata-kata tersebut terus terngiang dalam benak Paduka, kata yang dibawanya sampai gerbang alam roh sana.

0 comments:

Post a Comment