Aku lupa membawa jas hujan (aku masih bingung mengapa benda itu dinamakan “jas”, barangkali aku bisa memakainya untuk acara-acara formal.) sehingga terpaksa berteduh di kolong jalan layang bersama sarden-sarden lainnya (aku mengumpamakan dengan sarden agar kau tahu betapa sempitnya berdiri di tempat ini). Sebenarnya ada penjaja yang berkeliaran menawarkan “jas hujan plastik”, tapi aku malas membelinya karena sedang tidak terburu-buru. Lagipula, aku jadi bisa mengerjakan tugas setengah halaman ini selagi menunggu hujan reda.
Ini bukan cerita tentang aku, ini cerita tentang seorang ibu yang bersandar ke dinding kolong dengan tampang runyam (sebenarnya aku tidak tahu apakah ia memiliki anak atau tidak, tapi usianya sudah paruh baya, jadi rasanya tidak salah bila aku menyebutnya dengan ibu.). Tubuhnya sedikit kuyup, napasnya tersenggal-senggal (sebenarnya aku tidak dapat mendengar deru napasnya, tapi sepertinya lebih dramatis kalau ku buat tersenggal-senggal bukan?), dan matanya menatap tajam ke arah lelaki yang duduk sendirian di atas motor sembari menikmati sebatang rokok yang baru dinyalakan.
Mungkin ibu itu kesal melihat suaminya (atau mungkin kekasihnya, selingkuhannya, atau mungkin hanya tukang ojek yang sedang ia sewa) karena tidak memahami keterburuannya dan malah asik menampung asap di rongga mulut dan paru-parunya. Aku tidak tahu apa yang membuat sang ibu terburu-buru. Mungkin anaknya menunggu dirumah, atau ia takut terlambat menonton sinetron yang sedang digandrunginya, atau mungkin ia ingin secepatnya membantu jagoannya yang tengah bertarung. Sebuah pertarungan antara hujan dan jemuran yang belum diangkat, sebuah pertarungan yang tengah berlangsung lama (mungkin mengalahkan lamanya perang Israel dan Palestina) dimana jagoan ibu itu (melihat wajahnya yang runyam aku yakin ibu itu menjagokan jemuran) tak pernah sekalipun menang.
0 comments:
Post a Comment