Setengah

A: ih, batara kalau nolongin orang suka setengah-setengah
B: kan yang penting ikhlas, *aga ga nyambung sih, tapi sudahlah*
A: ih, apaan, 
B: iya deh iya *akhirnya ngebantuin juga*
………………………………………………………..
Ini sering terjadi sih, tapi sekali lagi, aku tidak akan bercerita tentang aku. Lagipula kau akan bosan mendengarnya bukan? Bila aku selalu bercerita tentang diriku. Toh aku bukan orang-orang yang senang bercerita tentang dirinya, untuk menggaet para juru gosip disekitarnya.

Ini cerita tentang pemuda yang duduk berselang dua kursi dariku di sebuah warung tenda pecel lele. tidak ada yang menarik dari penampilan pria itu, tidak ada. Lagipula untuk memahami cerita ini kau tak perlu tahu secara  detail bagaimana rupa pria itu. Kau tidak perlu tahu ia memiliki rambut pendek bergelombang, dengan wajah agak bulat yang senada dengan perutnya. Juga Kau tidak perlu tahu ia mengenakan jaket parasut di atas kaus hitam polosnya dan celana jeans abu muda yang terlihat sedikit longgar. Kau tidak perlu tahu semua itu, dan aku tidak perlu menuliskannya karena hanya memperpanjang kolom tulisan ini (orang seringkali melewat begitu saja sebuah postingan yang ia rasa panjang bukan? Terlebih bila itu dirasa tidak penting atau dibuat oleh seseorang yang tidak penting).

Pemuda itu baru saja meninggalkan warung tenda setelah membayar sebanyak 16 ribu rupiah kepada lelaki tua yang ‘sepertinya’ pemilik warung tenda itu (aku tidak bisa men-judge begitu saja bukan? Siapa tahu ia sedang kalah taruhan dan disuruh temannya untuk menggantikannya berjualan). ia meninggalkan sebuah tulang paha bawah yang telah kehilangan kedua ujungnya, bekas sambal, dan dedaunan (aku tidak tahu nama daun itu apa, daun yang saat ini sedang berenang bebas di mangkuk ‘kobokan’ yang berjarak sekitar 40 centimeter dari kelopak mataku). Dan ia juga meninggalkan sang tokoh antagonis dalam cerita ini, gelas yang berisi setengah air teh tawar (aku tahu persis itu tawar, jika ‘manis’ biasanya penjual menambahkan sendok untuk mengaduk gula).

Kau pernah mendengar permainan persepsi tentang gelas wine yang hanya terisi setengah? Apakah seseorang memandangnya ‘masih ada setengah’ atau ‘tinggal setengah’, yang katanya merujuk pada sikap optimis atau pesimis dari seseorang. Bila kau pernah mendengarnya, seharusnya kau sadar bahwa idiom itu bukan hanya berlaku di ‘masih setengah’ atau ‘tinggal setengah’. Melainkan juga di ‘gelas wine’-nya. Bayangkan bila gelas itu berisi campuran air sambal, cuka, dan hal-hal tidak mengenakan lainnya yang biasa kita temukan dalam permainan ‘jujur atau berani’ dan orang itu dipaksa untuk menghabiskan karena dengan bodohnya ia memilih ‘berani’. Bukankah ‘masih setengah’ dan ‘tinggal setengah’ akan berbalik maknanya?

Ah tapi aku bukan mau cerita tentang itu. Aku ingin bercerita tentang pemuda yang baru saja pergi dan setengah gelas teh tawar yang ia tinggalkan. Teh di dalamnya kian mendingin seiring waktu berjalan. Aku tidak tahu apa yang membuat pemuda itu tega meninggalkan begitu saja teh tawar yang sedang hangat-hangatnya. Mungkin ia tak suka karena ia ‘tawar’ dan memilih untuk membeli minuman lain yang lebih memiliki ‘rasa’. Atau ia dilarang oleh dokter untuk meminum ‘teh’ namun ia lupa karena ‘pedas’nya sambal yang ia makan dan baru teringat setelah meminum setengahnya. Atau bahkan ia sengaja meninggalkan gelas teh itu karena itu memang ‘hobi’nya, meninggalkan sesuatu yang ‘sedang hangat-hangatnya’.

Bila kau mengaitkannya dengan cinta, bisa saja. Tapi kau tahu aku sudah tidak pernah lagi bicara cinta bukan? tulisan ini dibuat sebagai mana tulisannya, tanpa kiasan, tanpa konotasi, tanpa majas metafora. 

0 comments:

Post a Comment